Wednesday, January 1, 2025

Echoes Between Us

Suara tetesan air dari keran rusak memecah keheningan. Aroma lembap bercampur dengan jejak deterjen murahan memenuhi kamar mandi sempit itu. Lampu neon di atas kepala berkedip tak menentu, sesekali memancarkan bayangan di dinding bercat kusam.

Cayden duduk di lantai dingin, punggungnya bersandar pada dinding. Wajahnya setegas batu, tapi matanya tak bisa menyembunyikan badai di dalamnya. Di sudut ruangan, Liora berdiri memeluk dirinya sendiri, pandangannya tidak pernah lepas dari pria itu.

Keheningan di antara mereka begitu berat, seolah udara di ruangan itu penuh dengan kata-kata tak terucap. Liora akhirnya memecahnya.

“Kau tidak akan berbicara selamanya, ya?” suaranya pelan, hampir seperti desahan, tapi setiap kata penuh dengan tuntutan.

Cayden tidak langsung menjawab. Ia menatap dinding di depannya, bibirnya sedikit menegang. “Kata-kata tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.”

Liora mendekat beberapa langkah, lututnya hampir bersentuhan dengan lutut Cayden. “Tapi diam hanya akan membuat kita lebih jauh.”

Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk seperti duri. Cayden memejamkan matanya, menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin meledak keluar.

Dari luar, suara samar terdengar—entah suara langkah kaki, atau mungkin hanya ilusi dari ruangan yang semakin menghimpit.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” lanjut Liora. Suaranya lebih tegas kali ini, namun ada nada lelah yang tak bisa disembunyikan. “Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Cayden. Jika kita tidak bicara sekarang, kapan lagi? Di sini kita aman.”

Cayden akhirnya menatapnya, matanya gelap, penuh dengan emosi yang campur aduk. “Aman?” Ia tertawa pendek, getir. “Tidak ada yang aman, Liora. Tidak di luar sana, dan tidak di sini.”

“Apa maksudmu?” Liora menatapnya tajam.

Cayden berdiri tiba-tiba, membelakangi Liora, tangannya mencengkeram pinggir wastafel yang sudah retak. Bayangannya tampak besar di bawah cahaya lampu yang goyah.

“Aku menyelamatkanmu saat semua orang lain pergi. Aku membawamu ke sini, ke tempat ini, karena aku pikir aku bisa melindungimu,” suaranya hampir pecah, tapi tetap terkontrol. “Tapi aku tidak bisa melindungimu dari diriku sendiri.”

“Cayden...” suara Liora melemah, seperti mencoba menjangkau sesuatu yang rapuh di dalam dirinya.

Ia berbalik, menatapnya dengan mata yang dipenuhi rasa bersalah. “Aku tidak pernah memberitahumu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi... dengan mereka.”

Kata-kata itu membuat Liora mundur setengah langkah, tapi ia tidak pergi. Ia hanya menatap Cayden, memintanya melanjutkan.

“Aku tahu siapa yang mengejar kita, Liora,” katanya pelan, namun suaranya bergetar. “Mereka ada di sini... karena aku.”

Dunia Liora seolah berhenti. Kata-kata Cayden terasa seperti tamparan. Ia tidak tahu harus berkata apa, tapi satu hal yang pasti—ia merasa dikhianati, terluka.

“Apa yang kau lakukan, Cayden?” tanyanya, suaranya nyaris seperti bisikan.

Cayden menggeleng, kepalanya tertunduk. “Aku membuat kesalahan. Aku... memilih mereka atas kalian. Aku pikir aku bisa memperbaikinya, tapi aku terlambat. Itu sebabnya mereka semua pergi. Itu sebabnya mereka mati.”

Kata-kata itu menghantam seperti badai, memenuhi ruangan yang sempit dengan ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Liora memejamkan matanya, berusaha menenangkan napasnya yang memburu.

“Aku tidak pernah meminta maaf, Liora,” lanjut Cayden, suaranya bergetar. “Karena aku tahu maaf saja tidak cukup.”

Liora mendekat, menyentuh wajah Cayden perlahan. Sentuhannya membuatnya tersentak, namun ia tidak bergerak menjauh. Mata mereka bertemu, dan Liora berbicara, pelan tapi penuh makna.

“Kadang, maaf adalah satu-satunya yang kita punya.”

Cayden mengangguk kecil, air mata yang ia tahan akhirnya jatuh, perlahan. Untuk pertama kalinya, keheningan di antara mereka tidak terasa seperti jurang. Itu terasa seperti awal.

Echoes Between Us

Suara tetesan air dari keran rusak memecah keheningan. Aroma lembap bercampur dengan jejak deterjen murahan memenuhi kamar mandi sempit itu....